Friday, November 7, 2014

Ketika "setan" pun Mencintai...

Aneh dengan judul di atas? Saya juga sebenarnya tidak yakin kalau ‘setan’ bisa mengenal cinta apalagi mencintai seseorang/sesuatu selain dosa.
Kenapa saya menuliskannya juga? Karena hari ini, tepatnya di depan rumah ibadah umat Nasrani, saya mendengar ucapan itu terlontar dari mulut seorang suami kepada istrinya. Apa yang salah? Apakah sang istri telah menjadi setan gentayangan di siang hari atau sikap nya yang seperti setan? Mengapa ia betah berada di gereja jika memang sikapnya seperti setan?
Penasaran dengan adegan tersebut, saya mencoba mendekatinya dan berbicara dari hati ke hati…kebetulan saya mengenalnya dengan sangat baik. Rupanya wanita tersebut juga tidak mengerti alasan suaminya berbuat kasar dan memakinya ‘setan’ di depan begitu banyak jemaat dan jemaat anak yang menyaksikan adegan pagi tadi.
Keduanya sama-sama bekerja dan saya pikir di situlah letak akar masalahnya. Ketika waktu bersama mulai tersita, kemesraan mulai terkikis oleh kesibukan dan anak-anak dan penghasilan serta tanggung jawab yang berbeda. Wanita ini memiliki tanggung jawab cukup besar di kantornya dan sringkali terpaksa mengerjakan pekerjaannya di saat libur seperti hari Sabtu dan Minggu atau malam hari sepulang kantor. Sementara sang suami selalu berusaha pulang tepat waktu walaupun kadang sering melembur 2-3 jam sebelum pulang. Keduanya tiba di rumah selalu di atas jam 8 malam. Belum lagi kesibukan suaminya yang sedang melanjutkan studi S2 dan kegiatan lainnya di hari libur. Bisa dipastikan keduanya juga terlilit masalah perbedaan angka pada penghasilan setiap bulannya. Belum lagi kebutuhan hidup di perkotaan yang tinggi. Semua hal itu disadari maupun tidak berpengaruh pada pola komunikasi yang dibangun…ah, belum lagi masalah karakter karena keduanya dari latar belakang budaya yang berbeda.
Namun, apapun masalahnya…seharusnya adegan pagi tadi tidak perlu terjadi. Situasi yang disaksikan putri kecilnya bisa dipastikan melukai nya. Jika tidak diselesaikan, hanya menunggu waktu saja kapan akan bermanifestasi keluar bak gunung yang siap memuntahkan laharnya.
Saya mencari berbagai informasi dan menemukan yang ini. Semoga bermanfaat bagi lebih banyak pasangan yang telah memutuskan untuk sama-sama bekerja. Pertimbangkanlah, renungkanlah, sepakatilah baru kemudian anda mengambil keputusan untuk bertindak.
Tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, adanya kemampuan dan lapangan kerja yang membutuhkan, membuka kesempatan pada banyak pasangan untuk sama-sama bekerja. Namun, longgarnya keuangan rumah tangga dan terbukanya wawasan di luar rumah, tak jarang diikuti oleh berbagai konsekuensi yang harus dihadapi bersama oleh suami istri.
Masalah waktu yang terasa semakin sempit, kelelahan yang bertambah, kurangnya toleransi suami, sampai jatuhnya harga diri suami, bisa muncul dan menjadi penyebab gangguan rumah tangga. Suami maupun istri, bisa saja mempunyai andil dalam ketidak harmonisan hubungan semacam itu.
Kurangnya toleransi suami
Bisa Anda bayangkan bagaimana lelahnya menjadi seorang istri yang hanya mengurus rumah tangga selama full 24 jam. Mulai dari membereskan rumah, menyiapkan makanan, membantu keperluan suami dan anak-anak, dan itu harus dikerjakan sendiri. Kini, Anda bisa membayangkan kembali bila istri tidak hanya mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga berkarir di luar rumah. Bekerja di luar rumah bagi seorang istri berarti tambahan beban tugas setiap harinya. Belum juga selesai memikirkan pekerjaan di kantor, pulang ke rumah harus menanggung pekerjaan rumah tangga. Mungkin beban itu akan lebih ringan jika ada kerja sama dari sang suami. Tapi sayangnya, tidak sedikit istri yang mengeluhkan suami yang kurang bisa toleran terhadap tugas istri dan terlalu menuntut banyak dari istrinya.
Seperti yang diungkapkan oleh dr. Dadang Hawari, seorang psikiater, “Jika dilihat dari segi kejiwaan, pandangan seorang suami terhadap istrinyanya sering berlebihan. Istri tidak saja dianggap sebagai pendamping, teman tidur, tetapi secara sadar atau tidakjuga dianggap berperan sebagai ibunya, kawan, kekasih, perawat, orang yang dapat membangkitkan semangatnya, menenangkannya, atau mengarahkannya. Bahkan tidak jarang seorang istri juga diharapkan berpenampilan baik untuk dapat menjaga kedudukan suaminya.”
Padahal sebagai istri yang mempunyai karir di luar rumah, banyak peran yang harus disandangnya sekaligus. Sebagai ibu rumah tangga, sebagai istri, ibu anak-anak, juga sebagai pekerja merupakan aneka sisi yang membutuhkan pemikiran dan pengaturan waktu tersendiri. Mau tidak mau, istri harus mampu membagi waktu, energi fisik dan mentalnya secara efisien dan efektif dalam upaya menjaga keselarasan keluarganya. Agar semua itu berhasil, tentu saja pengertian dan toleransi suaminya mesti ikut juga berperan serta dalam kerepotan rumah tangga yang selama ini dibebankan pada pundak istri.
Istri terasa jadi “saingan”
Ketika istri bekerja di luar rumah mungkin akan mempengaruhi kondisi dalam rumah tangga. Pada awalnya mungkin, suami akan menerima keberadaan istri yang harus bekerja di luar rumah. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu dimana karir istri akan meningkat, akan berdampak pada sikap suami. Apalagi ketika peran suami sebagai kepala keluarga seolah berbalik akibat dari lebih dominannya peran istri dalam memutuskan segala permasalahan yang ada di rumah tangga. Suami akan mengalami gejala rendah diri.
Menurut dr. Dadang Hawari, dalam keadaan posisi suami seperti itu, berbagai komplikasi psikologis dapat dialami oleh suami. Akibatnya, seringkali suami mengemukakan keluhan-keluhan dalam bentuk kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatik seperti sakit perut, dan sebagainya. Akibat lain juga bisa muncul dalam bentuk perubahan sikap, seperti menjadi dingin, pencemburu, pemarah, atau bersikap kasar pada istri.
Dari sudut kesehatan jiwa, dr. Dadang Hawari menjelaskan bahwa perubahan sikap dan perasaan suami seperti itu menandakan adanya konflik kejiwaan. Konflik ini bisa muncul dalam bentuk perasaan rendah diri atau sebaliknya, perasaan unggul diri. Apalagi jika peran kepala keluarga dan kekuasaan dalam keluarga sudah beralih dari suami pada istri, maka suami sering menganggap istrinya sebagai saingan.
Wibawa suami yang semakin menurun, “kalah” dalam karir atau pendapatan dapat menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Untuk mengatasi rasa kecewa itu, bisa saja suaminya secara tidak sadar menggunakan mekanisme melawan, berupa berbagai reaksi yang mengimbanginya. Sebab biar bagaimanapun, suami biasanya tetap ingin menunjukkan kekuasaan dan kekuatannya. Misalnya saja dengan marah-marah atau bersikap kasar. Sikap yang sebenarnya hanya bentuk pelampiasan kekecewaan belaka. Kekecewaan itu berbaur dengan rasa cemburu dan kekhawatiran akan ditinggalkan. Sikap suami semacam itu akan lebih diperburuk lagi, jika istrinya menunjukkan sikap yang tinggi hati terhadap suaminya. Jika hal semacam itu berlarut-larut, maka keselarasan keluarga akan tergoncang, dampaknya pun bisa mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak. 
Memecahkan bersama-sama
Beberapa konsekuensi yang muncul seperti diatas, biasanya sulit dihindari. Sekalipun begitu, dampaknya terhadap keselarasan keluarga masih dapat diatasi, asal saja pasangan yang bersangkutan mau bekerja sama membahas berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Beberapa pertimbangan yang perlu dibicarakan pada pasangan yang sama-sama bekerja, antara lain:
  • Melihat kembali motivasi istri bekerja. Untuk menambah penghasilan, karir, atau sekedar pengisi waktu belaka.
  • Seberapa jauh suami menghargai keikutsertaan istri dalam meringankan beban rumah tangga dan meningkatkan status sosial ekonomi keluarga.
  • Seberapa jauh keterbukaan suami-istri dalam hal keuangan. Seringkali terjadi, istri bekerja lalu suaminya lalai dalam tanggung jawab finansial rumah tangganya. Semua biaya ditanggung istri, sementara suami sama sekali tidak mau tahu urusan rumah tangga, bahkan kadang-kadang gajinya sendiripun dirahasiakan.
  • Dapatkah suami istri saling menjaga keseimbangan jiwa dan perasaan kedua belah pihak? Misalnya, untuk mencegah agar tidak terjadi sikap tinggi hati dari pihak istri, dan sebaliknya. Juga untuk mencegah sikap kompensasi suami yang merasa terancam kekuasaannya.
  • Dapatkah istri yang bekerja berbagai waktu secara efektif dan efisien untuk rumah tangga, anak-anak, dan suami? Maksudnya dari jumlah waktu yang sempit, dapat dicapai kualitas yang baik.
  • Seberapa jauhkah toleransi suami dalam membantu meringankan tugas-tugas istri dalam urusan rumah tangga seperti dalam urusan pendidikan anak, dan sebagainya.
  • Seberapa jauhkah dapat dijaga peran pokok bahwa istri yang bekerja bukanlah pencari nafkah utama?
  • Seberapa jauhkah toleransi suami, jika istrinya harus meninggalkan rumah berhari-hari karena tugas?
  • Seberapa jauhkah kesediaan suami atau istri berkonsultasi dengan seorang profesional, jika terjadi masalah keluarga yang tidak dapat dipecahkan berdua? Sebab, sangat tidak bijaksana jika suami atau istri tidak mempunyai persoalan keluarga, kemudian mengeluh kepada atasan atau teman lain jenis, karena hal ini dapat menimbulkan masalah baru.
Dengan membicarakan berbagai hal tersebut bersama-sama, setidak-tidaknya pasangan itu sudah memperhitungkan dampak yang mungkin timbul, serta sudah mempersiapkan berbagai jalan keluar untuk pencegahan hal-hal yang negatif. Dengan demikian, keselarasan keluarga diharapkan tetap dapat terjaga.
Sumber : Majalah “Ayah Bunda”
Selamat ribut-rukun kekasih-kekasih hatiku…di atas semuanya itu, kenakanlah kasih yang mempersatukan…
Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

No comments:

Post a Comment