Friday, November 7, 2014

Bosan Pada Pasangan (I)

Hal yang sangat potensial menyebabkan munculnya kebosanan di antara suami-istri sebetulnya justru sebab-sebab psikologis. Yakni saat orang mulai merasa tidak puas pada ciri-ciri pribadi pasangannya. Yang semula dianggap ramah, contohnya, ternyata dalam kehidupan sehari-hari tidak seramah dulu. Sementara yang sewaktu pacaran dinilai komunikatif, kini ternyata sangat tertutup atau malah terkesan “cerewet”.
Ketidaksesuaian-ketidaksesuaian dengan harapan itulah yang memunculkan kekecewaan, hingga tercetus, “Ternyata aku salah pilih.” Padahal secara psikologis, kekecewaan pastilah menyesakkan. Tak heran bila orang yang merasa dikecewakan akan menunjukkan sikap dingin terhadap orang yang mengecewakannya. Di lain pihak, kekecewaan ini akan bertumpuk kalau ditambah masalah lain. Seorang istri yang merasa tidak puas/tidak cocok dengan sifat suaminya, misalnya, punya alasan untuk semakin tidak tertarik alias merasa bosan.
Belum lagi kecenderungan menggunakan topeng selagi masa pacaran agar tidak terlihat kekurangan/keburukannya. Seharusnya, topeng-topeng kepalsuan tadi mulai ditanggalkan sesudah mulai akrab. Tentu saja tak perlu langsung berterus terang mengatakan si dia adalah pacar ke-10 yang hanya akan membuatnya mundur. Salah satu unsur pengikat yang menentukan langgeng atau tidaknya perkawinan bukanlah usia perkawinan itu sendiri atau lamanya proses pacaran, melainkan kesediaan masing-masing pihak untuk membuka diri sejujur-jujurnya terhadap pasangan.
Jadi, sarannya, carilah selalu kesempatan untuk berbincang dari hati ke hati dengan pasangan. Jangan cuma terpaku pada obrolan seputar politik atau soal banjir yang melanda Jakarta. Melainkan berani mengungkapkan hal-hal yang justru paling tidak mengenakkan. Semisal, “Dulu waktu SD, aku murid paling bodoh, lo.” Keberanian membeberkan pengalaman pahit yang tidak ingin diketahui umum itu justru menandakan bahwa Anda mempercayakan diri pada pasangan. Nah, pasangan yang merasa diistimewakan lantaran beroleh kepercayaan tadi tentu akan menghormati dan menjaga kepercayaan tersebut.
Hanya saja, tak ada yang pernah bisa menduga kapan kebosanan melanda pasangan suami-istri. Artinya, bisa saja pasangan yang telah menikah sekian puluh tahun didera kebosanan. Sementara pasangan yang baru menikah pun bukan tidak mungkin menghadapi hal serupa. Jika, kebosanan memang tak bisa terhindarkan, sarannya, jangan lupa untuk mawas diri. Dalam arti, jangan cepat-cepat menyalahkan pasangan karena bisa jadi penyebabnya justru bersumber pada diri kita sendiri.
Semisal peningkatan karier yang melesat tajam, sementara pasangan diam di tempat alias ketinggalan kereta. Padahal peningkatan karier tentu menuntut waktu dan tanggung jawab yang lebih besar. Hingga bisa saja pasangan merasa kecil dan terabaikan. Di mata istri/suami yang kariernya melesat tadi, nilai si istri/suami pun jadi jatuh karena dianggap tidak begitu berpengetahuan dan gengsi sosialnya tidak sama tinggi lagi dengan dirinya. Meski awalnya hal-hal tadi tak menimbulkan masalah, kini justru dirasa bakal menghambat laju kariernya.
Itulah mengapa, bibit perbedaan-perbedaan semacam itu sering dikhawatirkan banyak pihak sebagai bentuk dari cinta buta. Sewaktu cinta masih membara, persoalan semacam itu biasanya tak mau dibicarakan secara terbuka. Bahkan kerap dianggap sebelah mata atau malah sengaja ditutup-tutupi. Seharusnya hal-hal yang dirasa bakal menjadi ganjalan sejak awal sudah harus dibicarakan misalnya perbedaan agama, latar belakang sosial ekonomi maupun pendidikan. “Bukan karena diskriminasi, lo, tapi meminimalkan peluang terjadinya jurang perbedaan tadi.”
Kendati demikian, andaikan keakraban psikologis antara suami-istri tetap terjaga, segencar apa pun godaan di luar, kebosanan bisa diminimalisir. Kalaupun kebosanan dipicu oleh aspek psikologis, semisal kejengkelan/kemarahan, hendaknya jangan ditekan ke bawah sadar. Bukankah kemarahan yang dipendam tetap tidak menghilangkan kemarahan tersebut? Kita justru harus membiasakan diri untuk mengendalikan emosi. “Tapi bukan lantas meledak-ledak yang hanya membuat suasana jadi lebih buruk.”
Sayangnya, saat istri/suami bosan pada pasangannya, yang sering terjadi si pasangan justru salah memberi reaksi yang membuat suami/istrinya jadi lebih bosan. Entah sekadar menyalahkan diri dan menganggap kebosanan pasangan sebagai suratan nasib. Padahal tanggapan tak menyenangkan dari pasangan akan membuat kekecewaan makin bertumpuk yang berujung pada terakumulasinya kebosanan itu sendiri. Hingga salah satu kata kunci dalam perkawinan yang baik adalah komunikasi timbal balik dan bukan satu arah, lo.
Sedangkan untuk mengantisipasinya, antara lain variatio dilectat atau “variasi itu menyenangkan”. Artinya, supaya jangan bosan, kedua belah pihak harus mengupayakan hidup perkawinan mereka bervariasi. Semisal dengan menyempatkan piknik atau makan di luar bersama pasangan sekali waktu. Jangan ragu untuk “ambil risiko” mengubah rutinitas aktivitas sehari-hari ataupun mencari variasi posisi dalam berhubungan intim. Selain tentu saja, singkirkan pula kekhawatiran bakal terbebani oleh rasa bosan itu sendiri.
Benarkah ada usia-usia rawan dalam perkawinan yang berpeluang mengundang kebosanan? “Diduga, ya, karena di usia-usia rawan itulah, suami istri tengah saling belajar menyesuaikan diri,” Yang termasuk usia rawan adalah 3 atau 5 tahun. Selewat itu mereka diharapkan sudah saling bisa menyesuaikan diri dan bisa mengatasi ketegangan yang mulai banyak bermunculan. Kendati begitu bukan berarti segalanya lantas beres karena persoalan demi persoalan akan datang silih berganti. Semisal masalah anak, peningkatan karier, dan sebagainya.
Untuk menghindari kejenuhan, suami istri harus belajar “membaca” kebutuhan pasangan. Hingga sebelum pasangan memintanya, suami/istri sudah mendahului memberikannya. “Ingat, lo, meminta itu berarti menurunkan harga diri.” Itulah mengapa banyak orang enggan meminta meski sebetulnya dia membutuhkan sesuatu dari pasangannya. Tak cuma itu, porsi perhatian yang kurang pun kerap dijadikan pertanda munculnya kebosanan. Padahal minimnya ungkapan perhatian bukan lantaran kita bosan. Karena tidak sedikit pasangan yang enggan berbasa-basi semacam itu semata-mata karena mereka sudah menjadi suami-istri.
Itu sebab, sarannya, jangan hanya sebatas platonis. Melainkan nyatakan perhatian dan kasih sayang kita dari hal-hal kecil. Semisal, “Masakan Mama enak.” Bukankah itu merupakan penghargaan sekaligus ucapan terima kasih atas usahanya? Begitu juga istri terhadap suami. Dengan mengambilkan segelas air minum, contohnya, tak perlu merasa diri menjadi pelayan suami. Sebab, “Ikatan perkawinan semestinya saling membahagiakan. Kalau dengan memberikan segelas kopi susu kesukaannya bisa membahagiakan, pasangan juga merasa bahagia.” Jadi, meski ngantuk, tapi kalau suami/istri minta ditemani nonton serial kesayangannya, mengapa tidak? Apalagi cinta justru akan teruji dalam pengorbanan.
Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

No comments:

Post a Comment